Seminar Persaingan Usaha Dalam Perspektif Hukum Dan Etika Bisnis


Setiap perusahaan selalu berusaha meningkatkan kualitas pekerjaan yang ada dan perjalanan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat telah memasuki tahun ke-18. Ada banyak kemajuan yang telah dicapai dalam penegakan peraturan perundang-undangan di bidang hukum persaingan usaha ini, khususnya sebagaimana telah ditangani oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa keberhasilan penegakan hukum persaingan usaha membutuhkan sinergitas dari berbagai komponen pendukung, seperti kelengkapan dan ketersediaan substansi hukum positif, kesiapan aparatur, keandalan sarana dan prasarana, serta budaya hukum masyarakat. Substansi hukum juga ternyata tidak cukup mengandalkan peraturan perundang-undangan, melainkan juga norma-norma lain di luar hukum positif; salah satunya kode etik (code of ethics) dan kode perilaku (code of conduct).

Dalam dunia usaha (bisnis) juga dikenal berlaku tata nilai kepatutan dan kepantasan, yang kerap disebut etika bisnis (business ethics). Dalam sejarah hukum, misalnya, dikenal kasus Lindenbaum vs Cohen (1919) yang memperluas makna perbuatan melawan hukum dalam konteks perdata (onrechtmatige daad), tidak lagi sebatas melanggar undang-undang (onwetmatige daad), melainkan melanggar kepatutan dan kepantasan dalam dunia bisnis. Secara kebetulan, yurisprudensi klasik Lindenbaum vs Cohen yang disinggung di atas terjadi dalam lingkup persaingan usaha. Dalam area persaingan usaha, penegakan etika bisnis dengan demikian menjadi cikal bakal yang membuka perluasan makna “hukum” hingga sampai pada dimensi etis (metayuridis), tidak sekadar norma positif (yuridis).
Dari sisi dunia usaha, terjadi fenomena yang menarik, yakni perusahaan transnasional (transnational corporations) dan perusahaan multinasional (multinational corporations) ternyata telah mampu berkembang dengan sangat pesat, sehingga dari segi aset, bahkan kekayaan mereka dapat melampaui cadangan devisa suatu negara. Sebagai contoh, aset General Motor (AS) dan Exxon Mobil (AS) melebihi negara Swiss dan Arab Saudi. British Petroleum (Inggris) menghasilkan GDP yang jauh lebih besar dari pada Bulgaria dan Finlandia (Ifdal Kasim, 2016). Kekuasaan entitas ekonomi seperti ini sangat berpotensi untuk mempengaruhi pengambilan kebijakan politik, yang pada akhirnya membuka peluang terjadi pelanggaran hak warga masyarakat, termasuk terhadap kelestarian lingkungan dan hak asasi manusia (mulai dari hak sipil, politik, ekonomi, sampai budaya).  Kondisi ini telah disadari oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, dengan antara lain dengan menerbitkan UN Guiding Principles on Business and Human Rights.

Apabila fenomena ini ditarik ke dalam lingkup persaingan usaha, maka penghormatan terhadap kelestarian lingkungan dan hak asasi manusia ini juga relevan untuk dikaitkan. Prinsip efisiensi yang berlaku di dalam dunia bisnis akan membuka celah bagi munculnya praktik persaingan usaha tidak sehat. Andrei Shleifer (2004) menyebut sedikitnya lima contoh keterkaitan itu, yakni praktik: (1) child labor, (2) corruption, (3) high executive pay, (4) earnings manipulation, dan (5) commercialization of education. Dapatkah praktik-praktik seperti ini dilakukan dalam rangka memaksimalkan pendapatan dan memenangi persaingan usaha? Jawabannya akan mudah diberikan apabila perangkat hukum positif memang tersedia, pemaknaannya jelas, dan konsistensi penegakannya terlihat jelas. Masalahnya akan kompleks apabila aturannya sendiri sejak semula sudah berada di wilayah abu-abu atau multitafsir. Di sinilah etika bisnis dapat berperan sebagai instrumen yang melengkapi hukum positif.

Seminar tentang persaingan usaha dilihat dari perspektif etika bisnis kian menarik apabila contoh-contoh instrumen dan kasus-kasus di luar Indonesia juga ikut dihadirkan, seperti pengalaman Jerman, yang masih menjadi yang dalam derajat tertentu instrumen hukum dan etikanya juga dipengaruhi oleh Uni Eropa. Kondisi di luar Indonesia ini dapat menjadi referensi bagi pemerhati persaingan usaha di Tanah Air untuk memastikan peran etika bisnis dalam mengoptimalkan keberlakuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

Berkenaan dengan hal tersebut, dalam rangka untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam bagi mahasiswa, maka Prodi Ilmu Hukum menganggap layak untuk mengadakan kegiatan dalam bentuk seminar dengan tema “Persaingan Usaha Dalam Perspektif Hukum Dan Etika Bisnis”.  Kegiatan yang dilaksanakan di Aula Gedung Y Kampus Tembesi Universitas Putera Batam, pada hari Sabtu, tanggal 20 Mei 2017 pukul 14.00 WIB ini diikuti oleh 211 mahasiswa dengan menghadirkan narasumber yang berkompeten dan ahli di bidangnya antara lain Rizki Tri Anugrah Bhakti, S.H., M.H. dan Jontro Simanjuntak.S.Pt.,S.E.,M.M. Dengan mengikuti kegiatan ini diharapkan mahasiswa mendapatkan pengetahuan yang lebih mengenai persaingan usaha secara sehat untuk kembali menyadarkan mahasiswa akan pentingnya hukum dalam persaingan usaha, pengetahuan didalam etika berbisnis secara riil dan untuk memberikan pengetahuan lebih luas kepada mahasiswa yang belum mengetahui kasus ini. (RZK)

Kerja Sama